Selasa, 10 November 2015

Under The Stars (Part 6)



VALDIS’ POV
 
   Kurapikan helaian rambutku yang menutup wajahku. Aku berjalan mendekat sambil terus memainkan jemariku. Gugup.

   “Terima kasih. Kamu sudah membantu Alex.” Suaranya sangat indah. Senyumnya mampu menyejukkan suasana. Aku tersenyum mendengarnya. “Ini adalah suatu keajaiban. Sudah lama sekali rasanya Alex tidak membeli hadiah untuk ayah.” Wanita itu tersenyum sambal memandang kearah Alex. Bisa kulihat Alex, yang baru kutahu namanya, langsung membuang muka.

   Ibu Alex mengusap rambutku.
   “Iya, Tante. Sama-sama.”
   “Maaf, mata kamu sembab , kenapa?” Ibu Alex memandang lekat wajahku.
   “Oh ini. Iya tante. Kurang tidur.”
   “Kalau begitu , mari masuk dulu.” Aku berjalan di belakang Ibu Alex.
   “Wah lagi sibuk ya tante? Kalau boleh Valdis juga ingin membantu.” Aku menawarkan diri. Melihat masih banyak dekorasi yg belum selesai.

ALEX'S POV
 
   Aku mengikuti jejak langkahnya yang kian kemari menyelesaikan dekorasi ulang tahun ayahku. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku tidak mau terlalu banyak bericara dengannya. Lebih baik aku menunggunya sampai dekornya hamper sempurna.

   Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Valdis berpamitan pada ibuku untuk pulanng
   “Terima kasih banyak ya. Kamu sudah banyak membantu hari ini. Lain kali jangan sunkan untuk mampir kemari.” Ibu mengusap pundak gadis itu.
   “Iya. InsyaAllah tante. Pamit ya tante. Assalamu’alaikum”
   “Wa’alakumsalam. Hati-hati ya. Kamu juga Lex.”Ibu menngelus pipiku.
   “Iya,ma” Aku langsung melesat menuju mobil.

   Kami sudah hampir setengah jalan. Dan di mobil suasana sangat gaduh. Valdis sibuk membongkar tasnya.
   “Sepertinya handphone-ku tertinggal di rumahmu. Bisakah kita kembali ?” Aku bisa melihat dari sudut mataku, dia menatap penuh harap. Aku tidak menjawab apa-apa. Aku langsung memutar kemudi menuju rumah.

   Hampir sampai , aku melihat ada mobil di halaman rumahku.

VALDIS’ POV

   Mobil Alex kini sudah parkir di depan pintu rumah. Dari sini aku bisa melihat seorang laki-laki dan Ibu alex. Mungkin Ayahnya. Aku sangat cemas. Dengan hati-hati kuarahkan  pandanganku kepada Alex. Tangannya terkepal di kemudi mobil. Alex langsung turun dari mobil dan masuk dengan tergesa ke dalam rumah.
   Tidak berapa lama, Alex keluar dengan rahangnya yang mengeras. Dia langsung melemparkan handphone ke atas tasku. Aku bisa melihat. Raut wajahnya berubah lagi seperti saat aku bertanya tentang apa yang disukai ayahnya di Mall tadi. Aku kembali kecewa dengan situasi ini.
   Di tengah perjalanan , aku meghidupkan radio agar keheningan ini tidak membuatku gugup. Dan Alex tidak terusik sedikitpun.
   “Lex, jangan pulang dulu. Tunggu disini.” Aku langsung bergegas turun setelah sampai di depan rumahku. Dengan sigap aku langsung mengganti bajuku dan mengambil tas yang telah kumasukkan barang seperlunya.
   Kukecup pipi mamaku dan berpamitan.
   “Ma. Pamit ya keluar. Magrib aku pulang. Urgent. Assalamu’alaikum” Sebelum melesat keluar rumah , aku bisa mendengar ibuku mengomel tentang kebiasaanku ini.

   DI mobil, senyumku dibalas denan tatapan sinis oleh Alex. Aku menghembuskan napas. Menahan amarahku.
   “Taman Hiburan. Waktuku hanya sampai magrib.” Aku menjawab tatapannya dengan nada bicaraku yang datar. Suara mesin mobil langsung terdengar dan Alex hanya menatap kososng kedepan. Tidak merespon apa-apa.
   ‘Lex, aku hanya ingin menghiburmu.’ Gumamku dalam hati.


ALEX’S POV

   Aku mengikutinya yang berjalan ke tempat permainan memanah.Dia langsung membayar dan bermain. Tapi tak satupun sasaran yang tepat. Sampai akhirnya raut wajahnya berubah pasrah. Dia membalikkan badannya dan menunduk. Cih!

   “Mas, anak panahnya satu.” Aku langsung mengambil dan melempar anak panah itu. Dan dengan seketika mengenai sasaran.
   Penjaga kios itu langsung memberikan boneka pandag berukuran sedang kepadaku.
   Valdis sangat gembira menerimanya. Dia berteriak seperti anak kecil.
   “Memalukan” aku mendengus kesal ke arahnya.
   “Wajar saja. Aku perempuan dan senang mendapat boneka. Terimakasih! “ Dia berceloteh sambil terus memeleuk erat boneka itu. Dia juga mencium bonekanya berrtubi-tubu. Aku tidak tahan lagi. Benar-benar konyol. Aku tertawa.
    “Ternyata kau tidak kehilangan syaraf tertawamu.” Gadis itu cekikikan menertawakanku.. Aku langsung diam.

    Kini, kami ada di antrian rollercoaster. Saat mengantri, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menerobos di depan Valdis. Aku yg berada di belakang Valdis langsung menarik baju belakangnya dan menariknya keluar antrian.
   “Tolong etikanya. Kita semua antri disini. Jangan sesuka hati menerobos begitu saja.”  Kulepaskan genggamanku di baju laki laki itu. Dia hanya bisa meringis dan pergi.
   Saat kembali ke antrian, Valdis menoleh ke arahku dan tersenyum. Lagi.

 
VALDIS’ POV

     Kini kami sudah duduk di atas rolercoaster. Kakiku gemetar. Ini salah satu keinginaku yang akhirnya terwujud. Aku merasa takut sekaligus senang. Tapi aku harus mampu menahan rasa takut ini. Aku lihat Alex hanya duduk tenang saja.
    Saat rollercoaster berjalan, aku mentup mata dan berteriak. Aku juga menggenggam kuat pegangan di depanku.

ALEX’S POV
   
    Aku hanya mampu meremas sweaterku. Aku tidak mau menyerah sekarang. Jujur aku sudah tidak kuat. Perutku berguncang. Bisa kurasakan seisi perutku ingin keluar semua. Aku akan berusaha menahannya  sampai nanti.

Rabu, 18 Februari 2015

Maaf...

Hai semua!

Aku sangat ingin melengkapi part-part Under The Stars yang lainnya. Tapi file yang sudah aku buat ada di laptop saudara aku. Saudara aku tinggal di beda provinsi dengan ku huuu sedihnya :(

Jadi untuk Pembaca aku mohon maaf ya. Untuk sementara tidak bisa melanjutkan membaca ceritanya. Bisa aja sih aku buat lanjutan ceritanya, tapi mungkin akan sedikit berbeda.

Untuk penggantinya, aku akan membuat short story. Enjoy it in the next post!!

SV

Sabtu, 15 Februari 2014

Under The Stars (Part 5)

VALDIS’ POV

   Aku berbalik dan ingin segera pulang. Aku muak. Aku tidak ingin tangisku tumpah disini. Memalukan. Betapa bodohnya aku sangat mempercayai orang itu.

   Baru beberapa langkah aku berjalan , aku bisa merasakan genggaman tangan yang dingin dan menarikku. Aku menoleh. Dia. Dia menarikku hingga ke basement. Aku hanya mampu mengikutinya. Aku tidak sanggup lagi menahan ini semua. Air mataku megalirbeitu saja. Aku terisak.

   "Aku tidak mengnalmu. Aku tidak tau kamu siapa. Percuma. Semua ini sia-sia. Aku terlalu mudah untuk dibodohi. Duitku habis. Tidak ada guna ini semua." Aku lepaskan genggamanku dari benda yang telah aku beli. Hampir saja benda itu hancur.

   Kuseka air mataku , dari sudut lain aku melihat dia mengambil benda itu.

   "Apa ini?" Dia bertanya.

   "Jam dan pajangan antik. Aku tidak tahu mana yang bagus. tanpa pikir panjang aku membeli keduanya." Aku menjawabnya masih dengan isakan tangis.

   "Berapa?"

   "Lihat saja struk ini" Aku merogoh sakuku dan memberikan padanya.

   "Nanti aka kuganti. Sekarang kamu pulang saja. Angkutan umum banyak berlalu lalang disini"

   Aku terbelalak. Aku tidak percaya kata-kata itu yang keluar setelah semua yang kulakukan.

   "Hei!! Tega sekali. Dengan mudah kamu mengatakan hal itu. Susah payah aku melakukannya , ini yang kudapat? Waktuku terbuang , duit juga habis. Sekarang kamu bilang aku pulang naik angkutan umum??! Tidak waras." Aku melipat kedua tangan didadaku.

   Dia mendengus dan menjawab.
   "Bukannya kamu sediri yang mengatakan mengapa begitu mudah mempercayaiku. Kamu juga tidak kenal siapa aku. Jadi percuma aku mengantarmu pulang." Dia melirikku sebentar dan segera menuju mobilnya.

   Aku benar-benar emosi kali ini. Aku ingin sekali meninjunya. Dengan hentakan kaki yang cukup keras , aku keluar dari basement yang besar ini. Aku terus saja berjalan. hingga akhirnya sebuah mobil berjalan pelan disampingku.

   "Ayo masuk." Orang yang mengendarai mobil itu membuka pintu dri dalam. Aku tidak mengacuhkannya. Aku tetap berjalan.

   Akhirnya mobil itu berhenti , dan orang itu menggenggam tanganku dengan keras dan segera mendudukkanku di kursi mobilnya.

  
ALEX'S POV
   "Terserah. Kamu percaya atau tidak. Aku hanya ingin mengantarmu pulang." Aku memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara. "Pintu tidak aku kunci. Kalau mau turun . turun saja. Dan jika aku menyiksamu , kamu bisa pukul aku dengan ini." Kutunjuk ke arahnya kaleng minyak pelumas yang masih disegel.

   Aku tidak menerima jawaban apapun darinya. Dia tetap diam.

   "Tapi , sebelum aku antar kam pulang , kerumahku dulu. Aku harus memberikan kado ini ke mamaku. Kamu bisa pegang ucapanklu."

   Aku mulai menyalakan mobil. Aku melihat sekilas kearahnya. Dia menangis. Lagi. Aku tidak tahu apa yang ada dalm pikirannya saat ini. Hening. Aku mencoba mencari topik yang pas untuk dibicarakan.

   "Aku panggil kamu apa?"

   "Valdis" Suaranya terdengar parau. Hening lagi hingga sampai di kediamanku.

   Segera kulepas sabuk pengamanku. Kuraih Kantong tadi dan aku segera turun.


VALDIS’ POV
    Kulihat dia memasuki pintu rumahnya. Aku segera turun dari mobil. Halaman rumahnya sangat luas dan indah. Aku mendekati bunga-bunga yang tumbuh dengan indahnya. Aku menghirup baunya yang segar. Hati senang. Ini adalah hal yang sangat kusukai.

   Aku sedang asyik dengan tanaman ini hingga akhirnya aku mendengar suara.

   "Valdis!!" Suaranya berasal dari dalam rumah. Aku menoleh. Kulihat seorang ibu yang tampak anggun dan sedang memegang secangkir minuman.

   Aku sedikit salah tingkah. Aku malu dengan kelakuanku barusan. Aku tetap berdiri di tempat sambil menundukkan kepala.

   "Ayo sini!" Ibu itu memanggilku lagi. Akhirnya dengan perlahan aku mendekatinya.

Sabtu, 18 Januari 2014

Under The Stars (Part 4)



VALDIS’ POV
   Handphone-ku bergetar. Dari Raisa.
  
   "Halo. Kamu dimana?" Raisa menelpon dari seberang sanam

   "Aku ada perlu sebentar. Kalian lanjutkan saja hunting-nya." Aku menjawab dengan nada lemas.

   "Tapi kamu tidak apa-apa kan? Kenapa suara kamu seperti itu?" Raisa bertanya dengan nada cemas.

   "Tidak apa-apa. Hanya sedikit capek saja. Dah." Aku menutup telponku.

   Aku mendongak dan melihat ke arah laki laki yang menarikku dengan paksa tadi. Sekarang dia sedang bersandar di dinding dekat lift.

   "Apa?" Aku melihat heran ke arahnya.

   "Bukannya kamu yang bersedia membantu mencari hadiah untuk ayahku? Sekarang aku yang harus bilang 'apa' " Laki-laki itu mendengus kecil. Aku bingung memanggilnya apa.

   "Ok. Sekarang ikuti aku" Aku melangkah menuju toko yang menjual pakaian laki-laki. Aku terus berputar mengitari toko tersebut. Sampai akhirnya dia menyentuh bahuku. Aku tertawa dalam hati. Mungkin dia sudah menyadari bahwa aku telah mengerjai-nya sedari tadi.

   "Kamu mau beli apa? Dari tadi hanya berkeliling terus." Matanya menatapku dalam.

   "Aku salah? Aku tidak tau ayah kamu menyukai apa. Bagaimana caranya mengetahui apa yang harus aku beli?"  Dia terdiam mendengar kata-kataku barusan. Dia menunduk.

   "Aku tidak tahu." Setelah menmbalasku , bisa kulihat raut wajahnya berubah. Dia berbeda. Tidak sama seperti saat aku pertama bertemu dia. "Cari saja apa yang kamu suka dan menurutmu bagus." Lalu dia berbalik dan menyematkan jemarinya di rambutnya.

   Aku takut salah bicara. Lalu aku pergi keluar toko dan menjauhi dia. Aku naik ke lantai atas. Dan turun lagi. Keluar masuk dari toko ke toko. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku bersemangat. Aku tidak merasakan amarahku lagi.Aku tidak tega setiap kali melihat seseorang yan bersedih.

   Aku mendapatkan sebuah jam tangan dan sebuah pajangan mobil antik. Kedua benda ini pasti mahal. Aku bingung takut duitku tidak cukup. Lalu aku meminta kepada pelayannya untuk mengecek berapa sisa saldo kartu atm-ku. Rp.2.000.000,00. Sebenarnya sebagian dari duit itu adalah milik adikku. Tapi apa mau dikata. Aku terpaksa membeli keduanya.

   Setelah hadiah itu dibungkus. Aku segera keluar dari toko. Aku teringat sesuatu. Laki-laki yang tadi tidak bersamaku lagi. Aku kembali ke toko pakaian tadi dengan setengah berlari. Kukerakan mataku mencari dimana dia. Aku tidak menemukannya. Aku merasa menyesal. Kenapa harus percaya begitu saja dengannya. Aku rasanya ingin menangis dan membung dua benda bodih ini. Aku menarik napasku dalam dan menahan tangisku.

ALEX'S POV
   Aku melihatnya di depan pintu toko itu. Kenapa dia menundukkan kepala? Aku lantas membuang tisu bekas toilet dan mendekatinya. ||~||

Senin, 13 Januari 2014

Under The Stars (Part 3)

ALEX'S POV
   Di mobil , aku menceritakan kejadian di counter tadi kepada Om Adi. Dan aku juga menceritakan saat aku menabrak dia agar om Adi mengerti. Om Adi hanya tertawa.

   "Yah. Syukurlah. Untunglah kamu tidak menabrak dia dengan mobil" Om Adi menggodaku.

   "Mungkin kalau itu terjadi, Alex tidak bisa mengantarkan Om hari ini ke bandara." Kami tertawa bersama.

   Om Adi telah sampai di bandara. Aku memutar kemudiku. Aku tidak langsung pulang karena ingin mencari kado unutuk ayahku. Aku kini berada di tengah  kote. Mobilku telah kuparkirkan di tepi jalan. Jemariku sibuk memainkan layar smartphone-ku. Aku sedang browsing tenatang kado apa yang bagus.

   Aku menelepon Tante Rika.

   "Apa kado yang biasa tante berikan ke Om Adi?" Aku memulai pembicaraan.

   "Ya tergantung. Apa yang dia butuhkan atau apa yang dia sukai. Maaf, Lex. Tante lagi ada klien. Nanti saja dilanjutkan pembicaraan."  Telepon sudah ditutup.

   Aku menyandarkan punggugku di kursi. Aku bingung. Tidak tau apa yang cocok untuk menjadi hadia spesial untuk ayahku. Aku juga harus pulang cepat untuk mempersiapkan kejutan sebelum ayahku pulang. Aku memandang jauh keluar. Aku melihat beberapa anak SMA yang sedang tertawa bersama sedang berjalan. Aku berfikir, aku harus membuntuti mereka.

   Aku memutar kemudi mobil hingga berada di belakang mereka. Tidak lama kemudian , mereka berjalan menuju mall di dekat sana. Aku menghidupkan mobil dan memarkit nya di parkiran basement mall tersebut. Setelah berada di mall , aku duduk di bangku tunggu khusus customer dan menunggu anak SMA itu datang.

   Orang-orang terus berlalu lalang. Aku memperhatikan dengan seksama. Akhirnya yang kutunggu datang. Lalu pelan-pelan berjalan dan naik ke lantai 2. Aku bediri di pinggir etalase dan memperhatikan mereka.

   Mereka menuju lantai 3. Aku membuntuti. Aku mencari saat yang tepat melakukannya. Aku takut mengagetkan yang lain. Aku takut membuat keributan. Setelah sekian lama membuntuti , aku melihat salah satu menunduk dan mengikat tali sepatunya. segera kupercepat langkak. Aku melihat dia berdiri dan segera lengannya kutarik. Aku mempercepat jalanku dan terus berusaha menggenggam tangannya yang berusah berontak. Aku membawanya ke tempat perabot rumah tangga dan mendorongnya ke samping lemari. aku tidak percaya aku melakukan hal ini.

   "Carikan hadiah yang cocok untuk ayahku," Aku melepaskan genggamanku darinya, Dia hanya menatapku dan mulai melangkahkan kaki. Kutarik bahunya.

   "Aduh! Tolong jangan kasar. Dari awal kenapa selalu kasar. Kenapa? Kenapa harus aku?" Perempuan itu berbicara sambil memegangi bahunya. Aku juga bisa melihat bekas genggaman tangan ku di lengannya.

   "Waktuku tidak banyak. Ayo temani aku sekarang juga," Aku meregangkan rahangku dan mulai menggenggam tangannya kembali. Tapi dengan cepat dia menarik paksa tangannya,

   "Aku tidak kenal kamu. Untuk apa membantu kamu. Aku juga tidak percaya pada orang yang tidak kukenal. Aku tidak tahu niat kamu sebenarnya apa.." Dia membalasku. Lalu aku membuang muka. Dan kembali menatapnya.

   "Alex, Sudah? Sekarang cepat temani aku." Aku menatap dalam matanya. Dia tidak merespon apa-apa. Dia mengalihkan pandangannya. Aku mengibaskan tanganku didepannya. Dia kembali menatapku.

  "Tidak. Aku tidak percaya. Kamu juga tidak meminta tolong padaku." Dia membalasku dengan tatapan sinis.

   "Banyak omong. Ayo." Aku menarik tangannya. "Kamu tidak bisa lari. Karena kita berpegangan tangan seperti ini. Orang akan mengira kita berpacaran." Aku berbisik kepadanya sambil tertawa kecil. "Aku juga yakin kamu tidak nyaman dengan keadaan ini." Aku melihat ke arahnya dan tersenyum sinis. Dia memutar bola batanya.

   "Ok. Aku temani dan akan aku carikan. Sekarang tolong lepaskan" Dia menegaskan kata-katanya sambil menunjuk ke tangan kita.

   "Mana bisa aku langsung percaya." Aku mengalihkan pandangan darinya.

   "Terserah. Kalau kamu tetap menggenggam tanganku seperti ini. Jangan harap aku akan bersedia untuk berbicara lagi." Dia menarik tas ranselnya. Aku lepaskan pelan-pelan. Takut dia akan kabur. Ternyata tidak. Dia tetap mengikuti langkahku. ||~||


Under The Stars (Part 2)

VALDIS' POV
   Aku berkeliling untuk mencari buku yang di perlukan. Sambil mencari, aku juga membalik halaman demi halaman komik. Buku yang kubutuhkan ada tiga. Baru satu yang kudapat. Aku tidak langsung membeli bukunya. Kutawar harganya terlebih dahulu.

ALEX'S POV
   Setelah bermain futsal, kemudi mobil kuarahkan ke rumah. Seperti biasa. Sesampainya di rumah, orangtuaku bertengkar lagi.Tapi setelah itu mereka berbaikan kembali. Aku pergi ke atas untuk membersihkan badanku. Setelah itu, aku berpamitan kepada orangtuaku untuk keluar. Bosan jika harus melihat mereka bertengkar terus.

   Aku hanya berjalan kaki. Lalu aku mampir ke food court dan membeli minuman di dekat bengkel. Kulangkahkan kakiku kembali dan sekarang aku berada di loakan. Aku mulai membaca dan berkeliling. Ada suara mencurigakan yang kudengar. Aku penasaran. Takut sesuatu terjadi. Aku mempelankan jalanku dan mengintip ke arah sumber suara. Ternyata ada seorang perempuan yang sedang kesulitan berusaha mengeluarkan kakinya yang terjepit di sela-sela besi selokan.

   Kasihan sekali. Aku menghampiri perempuan itu dan menarik paksa kakinya keluar. Ternyata aku terlalu kuat melepaskannya hingga ia terjatuh. Aku langsung berdiri.

   "Disini gelap. Jangan ceroboh" Aku membentaknya dan menatapnya marah. Bisa kulihat wajah dia kaget dan mencoba menahan amarahnya,

   "Iya. Terima kasih" Dia berdiri dan merapikan sepatu bootnya. Aku berbalik dan menuju  loakan itu kembali.


VALDIS' POV

   Aneh. Kalau tidak ikhlas, kenapa harus membantuku? Menyebalkan. Aku mengambil bukuku yang tergeletak di tanah. Hanya buku. Berarti satu buku lagi ketinggalan. Aku tergesa melangkahkan kakiku sambil membersihkan jaketku yang kotor akibat terjatuh tadi. BRUK! Aku menabrak punggung seseorang.

   "HEI!! Kenapa? Sudah dibantu  , malah sengaja menabrak!" Kudengar bentakan itu lagi. Orang yang sama yang menolongku. Aku tidak kuat lagi. Akhirnya kubalas perkataannya tersebut.

  "Jangan salah sangka. Aku tidak sengaja" Lalu segera ku ambil buku ku yang ketinggalan di kios tempat laki-laki itu berdiri. "Maaf, pak. Bukunya ketinggalan" Bapak itu tersenyum dan mengiyakan.

   "Oh. Dasar teledor. Tadi tersangkut. Sekarang buku yang ketinggalan."Telingaku panas mendengar nada suaranya yang sinis itu mengejekku. Aku tidak mau mencari masalah. Aku hanya menatapnya. Ternyata dia lebih dulu menatapku. Dia tidak melepaskan pandangannya dari ku. Aku heran

   "Belum puas menhina saya?" kuhentakkan kakiku dan berjalan menjauhinya. Aku berbalik untuk melihataapa dia masih memmandangiku. Ya. Dia masih melihatku. Lalu dengan segera dia memasang topinya dan berjalan menuju kios lain di loakan tersebut.

   Di mobil , aku menceritakan kejadian saat aku terjatuh dan dibantu. Ayahku hanya tertawa dan menasehatiku. Aku beruntung. Karena dia tidak berbuat macam-macam padaku.


ALEX'S POV
   Saat menuju perjalanan pulang , aku berfikir. Ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengannya. Aku pernah bertemunya saat di SPBU kemarin. Tapi bukan itu. Sebelumnya lagi , rasanya aku pernah bertemu dia. Tapi di mana?

   'Menyebalkan!' Aku mendengus kecil dan memegangi kepalaku.

   Om Adi akan berangkat ke Kalimantan. Dia memintaku untuk mengantarnya ke bandara. Aku berangkat kerumahnya dan menunggu di teras. Saat sedang duduk , aku mendengar suara kucing yang mengeong. Suaranya seperti anak kucing. Aku berdiri dan melihar keluar. Ada anak kucing yang berusaha keluarr dari got. Aku mengankatnya keluar dan melihatnya berjalan tertatih melewati mobilku. Dheng! Aku merasakan sesuatu. Dalam benakku aku pernah menabrak sesorang. Wajahnya muuncul dalam fikiranku. Aku berfikir dan berusaha mngingat apa yang terjadi.

   Perempuan itu. Perempuan itu yangtelah kutabrak saat akan menjemput mama di supermarket. Sudut bibirku naik. Berapa kali aku harus melihatnya? Lalu kudengar Om Adi memanggil untuk segera berangkat.

   Dalam perjalanan, Om Adi memintaku untu turun dan membelikanku pulsa. Aku langsung keluar. Penjaga counter tersebut memintaku unuk menunggu 15 menit karena ada masalah pada jaringan. Akhirnya aku beputar dan melihat ke arah case handphone. Aku tertarik ke case yang berwarna coklat. Lalu aku langsung memegang benda tersebut, bersamaan dengan tangan lain yang juga  memakai gelang hijau.

  Tangannya langsung refleks untuk lepas dari case tersebut. Dia melihatku sekilas dan seketika dia berbalik lagi melihat ke arahku. Kelopak matanya membesar. Aku menaikkan alis menunggunya berbicara padaku. Tapi tidak ada kata kata yang keluar.

   "Berapa kali harus ketemu? Selalu disaat yang tidak tepat" Akhirnya aku yang memulai pembicaraan.


VALDIS' POV
   Aku menggemeretukkan gigiku. Kutatap matanya dengan emosi. Tidak. Ini bukan saat yang  tepat untuk berdebat. Aku langsur mundur dan pergi ke samping Lily yang sedang mengecek handphone-nya yang rusak. Aku bisa merasakannya. Orang itu masih menatapku dalam dari belakang. Kukepalkan tanganku agar emosiku tidak keluar. Lily melihatku dengan heran. Lily juga merasa ada yang sedang memperhatikan mereka. Lily melihat ke arah kanan kami. lalu berbalik melihat ke arahku lagi.

   Laki-laki itu keluar dari counter melewati punggungku. Bisa kurasakan dengan sengaja dia lewat dibelakangku dan jaket yang berada di bahu kanannya mengenai kuciran rambutku.

   "Eh itu siapa? Dari tadi dia melihat kamu terus." Lili bertanya setelah laki-laki itu pergi.
   "Tidak tahu. Sudahlah."Aku kesal
   "Tapi dia cukup keren." Lily tertawa ke arahku.
   "Ssst. Tidak usah dibahas."

   Endi , Raisa , dan Sasa menunggu kami di food court sebelah counter. Kami lalu pergi ke mall dengan berjalan kaki. ||~||

Minggu, 12 Januari 2014

Under The Stars (Part 1)

VALDIS' POV
   "Valdis!! Jangan lupa nanti aku telfon." Raisa meneriakiku dari jauh.
   "Iya. Sip!!" Aku membalasnya dan mengacungkan jempol.

   Tinggal beberapa hari lagi , libur akan segera tiba. Semua pasti senang. Terutama aku. Kadang merasa lelah dan bosan. Tugas yang banyak dan harus bangun pagi.

   Aku berjalan menyusuri gang menuju rumahku. Banyak anak kecil terlihat asyik bermain. Sudah menjadi kebiasaan pada sore hari di sekitar kompleks perumahan ini. Telfon genggamku bergetar. Aku merogoh sakuku. Lalu kubaca SMS sambil berjalan. Tanpa kusadari , ada seseorang yang setengah berlari keluar dari pagar rumah dan menabrakku. Bahunya menerjang pelipisku dan telfon genggamku terjatuh. Aku mendongak dan melihat ke arah orang tersebut. Dia hanya menatapku sinis dan mengernyitkan dahi. Tak lama setelah itu dia lantas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

   'Hah? Ternyata bukan hanya di sinetron ada orang seperti itu.' Aku lantas memperbaiki kacamataku dan mengambil telfon genggamku.

   Sesampainya di rumah , aku langsung memeriksa kulkas dan mengambil sebatang coklat. Lalu aku mengambil segelas air dan menuju kamarku. Aku langsung mengecek akun media sosial melalui smartphone-ku.


ALEX'S POV
   Setelah berkunjung ke rumah Om Adi , aku segera menuju supermarket untuk menjemput mama. Hari ini mama mengambil cuti karena ingin menyiapkan pesta ulang tahun papa. Beberapa hari lagi hari spesial papa akan datang.Mama memintaku untuk membantunya membuat kue. Hal ini adalah hal yang tidak kusuka. Bukan karena aku benci memasak atau tidak mau membnatunya. Tapi aku memang tidak suka kue. apalagi cream-nya. Akhirnya mama meminyta bantuan kepada Bu Nani , tetangga kami.

   Aku sangat tidak suka berada di rumah. Aku berencana untuk pergi ke tempat tongkronganku. Setelah sampai disana , aku dan yang lain langsung berangkat menuju studio. Bukan untuk latihan. Hnaya sekedar pelepas suntuk saja.

   Ditengah perjalanan , bensinku habis. Aku mengarahkan mobilku ke SPBU. Antrian sangat panjang. Aku menyerahkan kendali mobilku ke Baim. Lalu aku dan Desta keluar mobil. Ken menemani Baimdi mobil.

   Aku melihat ke arah seorang gadis yang sednag sibuk memilih minuman di minimarket SPBU. Terus kupandangi dia. Kurasakan Desta menyikutku.

   "Eh jangan ngelamun, Lex," Desta setengah tertawa menegurku.
   "Hah? Oh nggak. Kayaknya pernah liat dia." Aku menunjuk ke arah minimarket.
   "Ampun. Lucu banget. Ya iyalah pernah liat. Dunia kan luas." Desta tertawa sambil mengunyah permen karet. " Eh antrian udah pendek. Masuk Lex."

   Aku masih penasaran. Kubuka jendela mobil dan aku melihat ke arah gadis itu lagi. aku terus menatapnya. Dan aku melihatnya berjalan keluar dari minimarket itu. Lalu dia mendongak dan melihat ke arahku sambil mengernyitkan dahi. Aku mengangkat sudut bibirku dan menutup jendela. Aku melihatnya menggelengkan kepala.

VALDIS' POV
   "Pa, bisa tolong antar Valdis ke loakan?" Aku merapikan rambutku sambil berjalan ke arah ayahku.
   "Bisa. Kebetulan papa juga mau ke bengkel. Tunggu  , papa ambil dompet dulu."

   Di loakan kendaraan tidak bisa masuk. Papa menunggu di bengkel yang tidak jauh dari tempat loakan. Aku turun dari mobil dan menarik resleting jaketku. ||~||